Tapi jika Tuhan sudah berkehendak, Ia bisa memakai siapapun menjadi alat-Nya. “Karena bandel, saya tidak pernah membayangkan menjadi seorang imam. Apalagi pada masa saya kecil hingga remaja, jarang sekali hamba Tuhan atau seorang pastur berkunjung ke kampung kami. Paling banyak setahun hanya dua kali seorang pastor mengunjungi kampung kami di Gomo, Nias Selatan,”terangnya. Kampungnya di Sifalago pada masa itu memang termasuk daerah terpencil yang susah dijangkau. Selepas menyelesaikan pendidikan dasar di Gomo, Dion harus merantau keluar dari kampungnya untuk menempuh pendidikan SMP. “Waktu SMP saya sudah indekos di daerah Lahusa, masih di daerah Nias Selatan, karena di kampung kami belum ada SMP. Demikian juga SMA,”katanya.
Ketika duduk di bangku SMA, barulah Dionisius mulai aktif terlibat kegiatan-kegiatan muda-mudi Katolik (Mudika atau sekarang OMK). Pada saat itulah ia mulai sering bertemu dengan para frater dan suster dan tertarik dengan gaya hidup mereka. “Saya melihat gaya hidup mereka demikian ramah dan baik. Berada di tengah mereka saya merasa tidak pernah ada rasa curiga karena mereka bisa dipercaya. Saya mulai tertarik untuk mengambil jalan hidup seperti mereka,”tuturnya.
Ada satu orang frater yang paling akrab dengannya, namanya Frater Wilhelmus. Ia sering mengajak Dion berkeliling daerah pelayanan dengan sepeda motor. Pengalaman diajak berkeliling naik motor menyenangkan hati Dion. Sebagai orang yang berasal dari pedalaman, Dion tidak pernah merasakan naik sepeda motor. Kendaraan yang biasa dinaikinya hanyalah sepeda. Pikirnya,”Enak juga seorang pastor, bisa jalan-jalan naik motor.” Setamat bangku SMA dua orang temannya mengajak Dion untuk mendaftarkan diri ke seminari. Karena sudah ada rasa tertarik dengan gaya hidup membiara, Dion pun setuju dengan ajakan kedua temannya. Namun, ketika tiba waktu pengutusan dan harus berangkat, kedua teman Dion membatalkan keputusannya. Ternyata kedua orang tua mereka tidak menyetujui anak mereka menjadi calon pastor. Akhirnya Dion pun berangkat sendiri.
“Orang tua saya menyerahkan pilihan kepada saya. Hanya pesan mereka, kalau kamu yakin, jalanilah pilihan itu dengan sungguh-sungguh. Jangan kamu nanti mempermalukan orang tua atau saudara-saudara di kampung. Demikian pesan mereka,”katanya. “Pada masa itu jika sudah bertekad menempuh pendidikan calon imam, dan kemudian keluar di tengah jalan menjadi semacam aib atau dianggap memalukan orang tua,”lanjutnya. Orang tuanya jelas-jelas was-was mengingat anak kedua mereka yang sudah membuat keributan sekarang memilih jalan hidup untuk menjadi calon imam.
Dari Nias Dion menuju lokasi pendidikan postulat Kapusin di Mela, Sibolga, Tapanuli Tengah. Perjalanan dengan kapal kayu menuju Sibolga adalah perjalanan perdana Dion keluar dari Pulau Nias. Di Mela ia menjalani pendidikan postulat selama satu tahun. Masa postulat sendiri berasal dari postulare, merupakan masa pendidikan awal bagi calon hidup bakti, baik suster, bruder maupun calon imam. Menurut hukum Gereja Katolik biasanya dijalani antara setengah hingga satu tahun.
Saat menjalani masa-masa awal sebagai postulan di Sibolga, Dion sempat mengalami kejenuhan. Mela di Sibolga jauh dari keramaian. Setiap hari yang didengarkan hanya riuh suara burung dan monyet. Pikir Dion,”Sungguh membosankan. Apa bedanya dengan di Nias, kalau yang didengarkan hanya suara burung dan monyet. Sama-sama hutan.” Dion berpikir awalnya akan menjalani pendidikan di kota yang ada di tengah keramaian, bisa melihat banyak orang dan kendaraan lalu-lalang.
Belum lagi di tempat pendidikan tersebut, berkumpul banyak rekan baru yang berasal dari berbagai tempat di Nusantara dengan beragam latar belakang dan karakter. Mereka rata-rata baru lepas dari bangku SMA, jadi masih memiliki ego tinggi dan emosi yang labil. Di masa-masa awal, hampir setiap hari ada pertengkaran dan perdebatan. “Karena kami para siswa baru rata-rata memiliki karakter yang berbeda, dan sama-sama keras, sering kita saling bertengkar,”kenangnya mengingat masa-masa awal masa postulat. Ditambah aturan asrama yang sangat ketat dan penuh disiplin. Sangat sulit bagi para postulan untuk keluar dari asrama secara bebas. Sempat Dion bingung dan bertanya dalam batinnya, benarkah Tuhan memanggilnya menjadi calon imam?
Namun, seiring berjalannya waktu Dion bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan membiara. Menurut Dion ada dua hal yang menjadi kuncinya, yaitu doa dan persaudaraan. Baik antara rekan seangkatan, senior dengan yunior maupun dengan para pengajar. Hubungan persaudaraan yang baik meneguhkan batinnya dan membuatnya betah. Setelah menjalani masa postulat selama satu tahun, selanjutnya memasuki masa novisiat di Parapat, Sumatera Utara. Dari 16 orang yang memasuki masa postulat, tinggal 6 orang yang melanjutkan ke masa novisiat. Sementara 10 orang lainnya tersaring dan mundur. “Ada yang memang menarik diri, dan ada pula yang dilihat tidak cocok dengan cara dan gaya hidup membiara,”katanya.
Di masa-masa novisiat di Parapat tersebut, Dion belajar untuk melatih dirinya menjadi pribadi yang lebih sabar. Menata emosi. Belajar menerima sesama yang berasal dari beragam latar belakang. Belajar berdamai dengan diri sendiri dan sesama. “Sebelum saya mengubah orang lain, saya harus berupaya mengubah diri sendiri terlebih dahulu,”katanya. Dari Parapat, Dion melanjutkan pendidikan ke masa post novisiat di Gunung Sitoli, yang sering disebut sebagai masa internalisasi, pendalaman sebagai seorang Kapusin. Di sini dia belajar melakukan berbagai pekerjaan sehari-hari, belajar berjuang dan melatih diri untuk hidup dalam kesederhanaan.
“Pada masa internalisasi ini kita belajar memelihara dan memberi makan babi, beternak ayam, menanam ubi jalar, mengurus kebun kopi dan coklat dan berbagai pekerjaan lainnya,”terang Dion. Bahkan di masa post novisiat ini Dion terkadang merasa kesal, jika melihat ada temannya yang hidup dalam kepuraan-puraan. “Istilahnya ABS, asal bapak senang. Jadi kalau ada mentor di dekat kita, kita menjadi rajin. Kalau mentor tidak terlihat, kembali lagi menjadi seorang yang malas,”terangnya. Namun, ia menyadari bahwa setiap orang memiliki gaya hidupnya masing-masing. Setiap orang menjalani panggilannya dengan caranya masing-masing. Maka Dion pun belajar berdamai dan menerima situasi seperti itu dengan wajar.
Selepas menjalani masa post novisiat di Gunung Sitoli, Dion pun menjalani kuliah Filsafat di Pematang Siantar selama 4 tahun. Sempat sekali lagi Dion ragu melanjutkan panggilannya, saat ia mendapatkan tantangan dalam mengerjakan skripsi. “Skripsi saya waktu itu masih bab pertama, dikembalikan sekitar lima kali oleh pembimbing saya. Dianggap belum layak untuk masuk bab selanjutnya,”katanya. Dion sempat bertanya dalam batinnya,”Mengapa baru bab pertama sudah sesulit ini?” Dalam kepenatan Dion berdoa dan sempat menaikkan “ancaman” kepada Tuhan, “Tuhan, jika memang bukan panggilan saya untuk menjadi imam dalam ordo Kapusin, maka saya akan mundur dan keluar.”
Besoknya ia melihat sebuah berkas dalam kotak surat pribadinya di asrama. Ternyata itu adalah persetujuan Bab I dari pembimbingnya, artinya Dion diperkenankan melanjutkan pengerjaan skripsi ke bab berikutnya. Selanjutnya hingga skripsi selesai Dion tidak menemui hambatan berarti. Setelah menyelesaikan pendidikan filsafatnya, Dion bersama para calon imam Kapusin lain menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP). Dion menjalaninya di sebuah paroki Katolik di Teluk Dalam, Nias. Masa TOP dijalani selama satu tahun.
“Selama menjalani masa TOP saya merasa panggilan saya makin dikuatkan dan saya makin berkembang karena di lingkup paroki dan di tengah-tengah umat banyak pelayanan yang mesti kita kerjakan. Kalau memikirkan luas wilayah yang harus dilayani kita sering merasa lelah, namun setelah bertemu dengan umat Tuhan selalu muncul semangat dan kekuatan baru. Rupanya saya merasa bahwa, hidup dan panggilan pelayanan saya semakin berarti ketika berada di tengah umat Tuhan di kampung-kampung dan membantu berbagai pergumulan mereka,”terangnya. Setelah menjalani masa TOP di Nias, Dion kembali ke Pematang Siantar untuk menjalani pendidikan teologi selama dua tahun. Setelahnya menjalani masa diakonat di Nias Tengah selama 6 bulan. Masa diakonat adalah masas persiapan terakhir sebagai calon imam.
Pada 26 Januari 2010, Dionisius Laia ditahbiskan sebagai imam. Dion merasa sangat haru dan bangga mengingat panggilan imamat adalah panggilan yang terhormat dan tidak semua orang bisa menjalaninya. Sebuah panggilan yang tidak pernah terbayang di benaknya ketika kecil hingga remaja. Ia merasa jika bukan Tuhan yang memilih dan menguatkan, ia tidak mungkin menjalaninya. Orang tua dan saudara-sauadaranya ikut hadir dalam ibadah tahbisan imamat tersebut. Menjadi imam, menurut Dion berarti harus siap dengan segala tantangan, pergumulan dan pencobaan. Maka ia memilih motto tahbisan yang diambil dari Kitab Makabe (Deuterokanika):kalau engkau mau melayani Aku, maka bersiaplah untuk pencobaan.
“Menjadi pelayan pasti akan menghadapi begitu banyak cobaan dan tantangan kehidupan. Kita harus selalu siap sedia menghadapinya. Kemudian waktu saya menaikkan kaul kekal, mengikat diri seumur hidup dalam persaudaraan Kapusin, saya memilih motto: marilah kepadaku kalian letih lesu dan berbeban berat aku akan memberikan kelegaan kepada kalian. Motto ini diambil dari Kitab Injil Matius 11: 28: "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu,” terangnya.
Dion memandang dirinya sebagai orang yang lemah, secara manusiawi tidak ada kelayakan dalam dirinya untuk menjadi seorang imam. Tapi ia juga menyadari bahwa panggilan Tuhan itu adalah undangan kepadanya sebagai manusia yang penuh letih lesu, karena Tuhan akan menguatkan dan memberikan kelegaan. Ia meyakini jika Tuhan sudah mengundang-Nya pasti Tuhan juga akan menguatkannya.
Kaya dalam Segala Hal
Ordo Kapusin sangat menekankan kesederhanaan dan persaudaraan. Apa yang membuat Pastor Dionisius mampu bertahan dan tetap bersukacita? Bagi Ps. Dion suasana persaudaraan yang dibangun membuatnya betah dan mampu bertahan dalam panggilan sebagai calon imam.
“Di dalam persaudaraan Kapusin saya merasa didukung dan memiliki kebebasan untuk melayani. Saya juga tidak perlu khawatir mengenai alat atau sarana pelayanan. Karena di dalam persaudaraan, saya bisa saling menggunakan milik bersama. Contohnya, jika saya akan melayani di pedalaman Nias saya tidak pernah berpikir nanti saya akan menggunakan apa, memakai motor siapa. Dalam persaudaraan nanti selalu ada saudara yang akan menolong. Silakan saling mempergunakan alat yang dimiliki sesama saudara Kapusin, yang penting saling memberitahukan dan mengkomunikasikan kebutuhan pelayanan,”terangnya.
“Maka, bisa saja hari ini saya menggunakan mobil Avanza, besok Isuzu Panther, lusa L-300. Karena kami bebas saling menggunakan sarana pelayanan, dengan syarat saling memberitahu dan mengkomunikasikan kebutuhan. Saya memang tidak memiliki semua, tapi saya merasa memiliki semuanya. Saya merasa kaya, karena apa yang saya butuhkan disediakan oleh Tuhan melalui para saudara,”lanjutnya.
Dion memandang perjalanan panggilan imamatnya sebagai bentuk mujizat dari Tuhan. “Dari berapa ribu orang di kampung saya mengapa Tuhan memilih saya, saya pandang itu sebagai bentuk mujizat. Di dalam sebuah asrama ada 140-an orang yang tinggal bersama, dengan karakater yang berbeda, ada yang keras, sering terjadi perbedaan pendapat tapi tidak ada yang berkelahi. Ini juga dianggapnya mujizat.
“Saya sering mengatakan kepada para frater kita sungguh beruntung di masa pandemi. Kita di sini tidak bekerja tapi tidak hidup berkekurangan. Di luar asrama, orang tidak bekerja, mereka tidak akan bisa makan. Maka saya tekankan kepada para frater muda agar mereka menjalani panggilan dengan gembira dan penuh sukacita. Harus selalu bersyukur atas pemberian umat kepada mereka sehingga hidup terus terpelihara. Seperti ditulis dalam Kitab Suci, seperti burung yg tidak pernah menanam, tidak pernah menuai tetapi terus memperoleh makanan. Pemeliharaan Tuhan sehari-hari bagi saya adalah mujizat. Semua diawali dengan keyakinan iman. Beriman dahulu baru mujizat hadir,bukan sebaliknya. Hidup kita setiap hari sesungguhnya adalah mujizat, hanya kadang kita tidak pernah bisa menyadari dan menghayatinya, karena kita memandang segalanya biasa-biasa saja, serba otomatis,”terangnya.
Melayani di Tempat Orang Tidak Mau Diutus
Lebih lanjut Ps. Dion menerangkan, Ordo Kapusin sering disebut sebagai Saudara Dina. Pada dasarnya ordo ini dekat dengan orang-orang miskin atau dengan mereka yang tidak diperhatikan. Pendiri ordo Santo Fransiskus dari Asisi menekankan bahwa “pergilah ke mana orang tidak mau diutus”, di tempat seperti itulah ordo Kapusin hadir.
“Setiap kali kita hendak diutus kita harus menghadapinya dengan penuh kerendahan hati, semangat dan ketaatan penuh. Jangan sampai ketika kita diutus kita bertanya: apakah di daerah tersebut ada sinyal HP atau internet? Imam Kapusin seperti halnya ordo lain sudah menaikkan kaul ketaatan, ke mana pun diutus harus selalu siap,”katanya.
“Maka demikianlah dalam pelayanan dan perjuangan kami harus pergi ke tempat-tempat yang kehidupannya sangat sederhana. Tempat-tempat seperti itu jarang terdapat di kota. Di Jakarta mungkin ada, namun hanya beberapa saja. Lebih banyak di pelosok atau pedalaman Nusantara. Ke tempat itulah Kapusin berangkat melayani. Ciri khas lain dari Ordo Kapusin adalah hidup bersaudara. Jadi persaudaraan itu sangat ditekankan. Tidak ada milik pribadi, semua adalah milik bersama. Setiap kali hadir melayani janganlah membawa nama pribadi, tetapi harus selalu nama persaudaraan Kapusin,”terangnya.
“Karya-karya pelayanan Kapusin ada bermacam-macam. Contohnya adalah mengembangkan paroki-paroki di pelosok. Ada pembinaan pertukangan di Gunung Sitoli. Selain itu kami juga mengembangkan pendidikan SD, SMP dan SMA di daerah Teluk Dalam, Nias. Selain itu kami juga mengembangkan dua Rumah Pembinaan, di Gunung Sitoli dan di Laverna, Nias. Di Indonesia sendiri ada 4 provinsi Kapusin, yaitu: Kalimantan, Medan, Sibolga dan Nias,”lanjut Ps. Dion.
Pertama kali Ps. Dion melayani dan ditempatkan sebagai imam di daerah Togizita, Nias. Setela tiga tahun kemudian pindah tugas di sebuah paroki di Amandraya, Nias Selatan. Setelah hampir dua tahun di Amandraya, Ps. Dion berangkat menuju Roma untuk melanjutkan studi, spesialisasi Kitab Suci. Ia menjalani pendidikan di Roma selama 2 tahun sepuluh bulan. “Sebenarnya masa pendidikannya selama dua setengah tahun, sisanya saya beradaptasi dan belajar bahasa (Italia-red),”katanya. Baginya mempelajari bahasa Italia menjadi tantangan paling berat pada masa-masa studi di Roma. “Selama empat bulan masa awal kuliah, saya mendengar suara dosen bagaikan suara tiang listrik. Tidak ada satupun yang saya pahami dan tangkap. Karena grammarnya berbeda jauh sekali dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris,”ceritanya sambil tertawa. Tapi setelahnya Ps. Dion mampu menyesuaikan diri, dan menyelesaikan tugas studi dengan baik.
Sepulang dari Italia, ia melayani selama lima bulan di sebuah Paroki di Lahewa di Nias Utara. Setelah itu Ps. Dion melayani di Rumah Pendidikan Novisiat Santo Fidelis Sigmaringen di Parapat, yang merupakan tempatnya dulu menempuh pendidikan novisiat. Di situ ia bertugas selama dua tahun. Dan sejak 2019 ia pindah tugas melayani di STFT (Sekolah Tinggi Filsafat Teologi) St. Yohanes, Pematang Siantar. Fokusnya sekarang adalah mendidik dan membentuk calon-calon imam Kapusin di rumah mereka. “Di asrama kami membentuk mereka sebagai seorang Kapusin. Di kampus mereka dibentuk menjadi seorang calon imam,”terangnya.
Terjemahan Kitab Suci
Berkaitan dengan Hari Doa Alkitab dan Bulan Kitab Suci Nasional 2021, Ps. Dion memandang masih sangat perlu menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa yang dapat dimengerti setiap orang. “Walaupun memang bisa dikatakan sudah banyak orang yang mengerti Bahasa Indonesia tetapi kalau di Nias masih sangat banyak yang tidak mengerti Bahasa Indonesia. Selain agar mudah dipahami, ada juga sisi lain yang penting. Dengan adanya penerjemahan Kitab Suci dan penggunaannya dalam ibadah, bahasa daerah bisa terjaga keberadaannya dan tetap lestari,”terangnya.
Berbicara tentang menggerakkan kaum muda untuk kembali memiliki semangat membaca Kitab Suci, Ps. Dion memandang perlunya mencari cara-cara baru yang bisa diterima generasi muda, yang tidak berkesan memaksa atau menggurui.“Kami di Pematang Siantar mencoba membuat berbagai video-video pendek yang isinya bercerita tentang Kitab Suci dan disesuaikan dengan konteks masa kini. Beberapa film pendek tersebut memotivasi umat agar rajin membaca Kitab Suci. Di tahap-tahap awal, mungkin kaum muda bisa didorong lewat menonton film pendek. Untuk langsung pada gerakan membaca tidak selalu mudah. Di beberapa Gereja Katolik, di setiap Bulan Kitab Suci juga dilakukan berbagai perlombaan yang berkaitan dengan Kitab Suci. Ini juga harapannya menyemangati mereka agar mau membaca dan merenungkan isi Kitab Suci,”tuturnya.
Ps. Dion secara khusus merasa bersyukur bisa terlibat dalam kerja sama menerjemahkan Kitab Suci dalam bahasa Nias. Karena dengan demikian bisa saling mengenal dan bekerja sama dengan rekan-rekan dari berbagai gereja. Dengan demikian dapat saling bekerja sama dalam mewartakan karya Allah di bumi Indonesia. Sebagai anggota Tim Pembaruan Alkitab Nias, ia juga berharap hasil karya tim dapat segera selesai, dan nantinya umat segera dapat memanfaatkannya baik untuk peribadahan maupun sebagai sumber inspirasi pribadi. Ps. Dion mengakui semakin mendalami Kitab Suci semakin banyak hal yang tidak ia ketahui. Begitu besar harta karun yang terkandung di dalam Kitab Suci pemberian Allah. “Semakin saya mendalami Kitab Suci semakin banyak yang tidak saya ketahui, Maka saya harus semakin rendah hati dan banyak belajar. Dulu ketika muda, saya tahu sedikit tapi merasa bisa menjawab pertanyaan apa pun dari siapapun. Sekarang ini semakin saya sadari, saya tidak bisa dengan mudah menjawab pertanyaan umat seputar Kitab Suci.
Melayani dengan Setia Sampai Akhir
Di sisa usia yang Tuhan berikan, Ps. Dionisius Laia, OFM.Cap. hanya ingin terus melayani Tuhan dengan setia. Menjadi seorang imam diakuinya bukan sebuah jalan yang mudah. Ia harus terus menerus bergumul dan berdamai dengan berbagai tantangan dari dalam maupun luar dirinya. Tidak ada yang lebih membahagiakan baginya selain setia hingga akhir dalam pelayanan.
Sebagai bagian dari ordo Kapusin, Saudara Dina, ia semakin dimampukan untuk menjadi jembatan Tuhan, menolong sebanyak mungkin orang-orang yang memiliki pergumulan dan kesulitan hidup. Agar melalui karya pelayanannya dan melalui pelayanan Kapusin, gereja sungguh-sungguh hadir membawa keselamatan.
“Semestinya kita beragama bukan hanya di dalam gereja saja, namun
iman kita harus nampak dalam kehidupan kita sehari-hari,”tegasnya.
“Orang Kristen juga harus semakin akrab dan kompak, semakin bisa bekerja
sama satu sama lain. Meskipun kita berasal dari berbagai gereja dan
beragam latar belakang, kita dipanggil bukan untuk mencari perbedaan,
tetapi bagaimana kita melayani secara bersama-sama menghadirkan kasih
setia dan karya keselamatan Allah di bumi Indonesia,”tuturnya.
Posting Komentar